Bulan Tertusuk Belati, oleh: Anton Kurnia


Langit mendung malam itu. Rembulan tertutup awan. Gelap. Pekat. Rintik hujan sisa tadi sore masih menetes satu-satu, jatuh berdetak di atas permukaan bumi yang basah.

Ibung merapatkan jaketnya di atas sadel sepeda motor yang melaju perlahan. Sejenak ia bergidik menahan deraan dingin angin malam. Rambutnya yang dibiarkan terbuka separuh basah oleh rinai gerimis. Lamat-lamat Ibung bersenandung. Sebuah lagu lama yang diingatnya entah sajak kapan. Sebuah lagu yang sedih.

Sepeda motor itu terus melaju melintasi malam. Membelah jalanan yang dipagari pepohonan yang berjajar liar di kiri-kanan jalan aspal. 

TAWA MENAHAN LUKA
“Kalau kamu mau selamat, jangan coba-coba nulis kasus ini di koran kamu. Tulislah soal yang bagus-bagus. Apa saja semau kamu, tapi jangan singgung-singgung soal ini. Saya serius! Kamu ngerti ‘kan?”
Ibung diam. Giginya gemeretak menahan geram. Jemari tangan kanannya terkepal dalam saku jaketnya.
“Saya sudah bilang sama bos kamu. Dia bilang semuanya bisa diatur.”
“Bos saya? Siapa?”
“Iya, bos kamu. Pak Behom.”
“Bang Behom?”

Sejak kapan Behom naik pangkat? batin Ibung. Sekilas terbayang tubuh ceking Behom, seorang redaktur di kantornya yang akrab sama bos-bos bandar judi. Dunia memang sudah pada terbalik semua. Satu persatu semua hal baik yang dipeliharanya diam-diam dalam hati centang-perenang oleh kenyataan-kenyataan hidup yang sering kali begitu aneh.

Selaksa kata berkecamuk dalam kepala Ibung yang tiba-tiba serasa berputar: idealisme… kebenaran… keadilan… kebebasan pers… hati nurani… Bah! Mulut Ibung menyeringai. Ia tertawa dalam hati. Bukan tawa bahagia, tapi tawa menahan luka. Apa lagikah kini yang tak bisa dibeli dengan uang?
Terngiang kata-kata Rio, kawan seprofesinya, suatu kali, “Enggak usah pake idealis-idealisan, Bung! Ibung, Ibung… lo mau jadi pahlawan kesiangan? Ha ha ha… Berapa duit, sih, gaji wartawan? Makan tuh idealisme! Realistis aja lah, Bung…”
Ibung meringis tanpa sadar.
“Saya heran sama kamu! Dikasih duit enggak mau, ditawarin apa-apa nolak. Oke, pokoknya ini peringatan terakhir buat kamu. Saya enggak main-main!” bentakan itu membawa Ibung kembali ke alam nyata.

Lelaki berbaju rapi itu berlalu tergesa. Meninggalkan Ibung seorang diri di ruang depan rumah kontrakannya yang sempit. Lelaki itu adalah suruhan seorang pejabat lokal yang namanya tersangkut kasus dana macet untuk pinjaman modal berusaha rakyat miskin di pedesaan. Begitulah yang terjadi; orang-orang mencuri dari orang lain dengan berbagai cara. Dan manusia benar-benar menjadi srigala bagi saudaranya sendiri.
Ibung kembali mengepalkan jemari tangannya. Ia sudah mengambil keputusan.

Di luar, langit kelam tanpa bintang. Mendung tebal menandakan bahwa hujan akan segera turun. Benak Ibung kembali mengembara. Jauh, jauh ke masa lalu…

SEPASANG CICAK BERKEJARAN

“Minggu depan aku jadi ke Halmahera. Tambang emas. Australia punya. Gimana kamu, masih ngotot mau jadi wartawan? Ngapain sih? Kayak nggak ada kerjaan lain aja…”

Ibung menatap bibir indah yang menari itu. Sepasang bibir yang beberapa saat lalu saling melumat ganas dengan miliknya. Dihisapnya rokok di jepitan jemari kanannya dalam-dalam. Gea, Gea, rupanya kamu masih belum mengerti juga…

Ia melepaskan pandang pada sosok gemulai yang memabukkan itu. Sebentuk tubuh indah penuh gairah. Ah, kenapa dia selalu terlibat dengan perempuan yang salah?

“Bung, besok sore anterin aku ke Calista ya? Agnes ulang tahun. Dia mau bikin pesta kecil-kecilan. Pulangnya kita jojing dulu. Besok, kan, malam minggu…”

“Besok aku mau ke CCF. Ada acara baca puisi. Terus ada diskusi sastra udahnya… Sorry, aku kayaknya nggak bisa nganter kamu.”

“Aduh, kamu selalu gitu, deh… Tiap kali aku ajak having fun, pasti ada aja alasannya. Sebel!”
Ibung diam. Matanya terpaku di langit-langit kamar. Sepasang cicak tampak sedang berkejaran. Mesra. Ibung merasa iri pada sepasang cicak itu. Mereka seperti tak punya beban hidup apa pun. Hidup mereka adalah kehidupan yang ringan. Mengalir tanpa banyak diganggu oleh basa-basi dan hal-hal muluk yang sering tak terhindarkan dalam hidup manusia.

Dari speaker komputer yang menyala di sudut kamar, mengalun sebuah lagu. Bob Dylan…

How many roads must a man walk on, before you call him a man? How many ears must one man had, before he can hear people cry? The answer my friend is blowing in the wind, the answer is blowing in the wind...”

KEMATIAN MAKIN AKRAB

Sepeda motor Ibung masih terus melaju. Di sebelah kiri jalan raya, kompleks pekuburan yang gelap dan sepi tertutup oleh rerimbunan semak dan bayangan pepohonan. Ibung melirik sekilas. Didengarnya suara jeritan burung malam. Tengkuk Ibung meremang.

Kuburan mengingatkannya pada kematian. Sebuah misteri entah macam apa yang pasti akan dilewati oleh setiap mereka yang hidup. Dan pada gilirannya, kematian mengingatkannya pada orang-orang tercinta yang pernah amat menyayanginya: bapaknya, kakeknya, ibunya… Ah, Mama, Mama, lama sabakhtani?

Suatu kali pada masa hidupnya ibunya pernah bercerita pada Ibung. Bapaknya yang pergi untuk selama-lamanya saat Ibung belum sempat disunat adalah seorang lelaki sederhana yang mencintai keluarganya dan senang membaca sastra. Saat ibunya mengandung janin Ibung, bapaknya membaca sebuah novel tentang perjuangan anak-anak negeri di tanah seberang dalam meraih hak kemanusiaannya. Novel itu begitu menyentuh hatinya. Sebuah novel karya seorang dokter patriot dan sekaligus seorang pecinta yang berkobar-kobar. Mereka - ayah dan bunda Ibung - kemudian bersepakat bahwa jika anak yang dilahirkan itu lelaki, ia akan dinamai sesuai nama seorang martir dalam novel itu yang rela mengorbankan nyawanya untuk cita-cita orang banyak: Ibarra. Dan pada suatu malam yang gerimis, lahirlah Ibung - nama panggilan Ibarra - ke dunia yang tidak ramah ini.

Sebuah lubang menganga menghadang laju sepeda motor Ibung. Sigap ia membanting kemudi.

Di sebelah kanan jalan raya, terlihat samar sisa-sisa batang pohon yang menghitam di kebun lada. Para petani lada-mereka menyebutnya sahang-mesti membakar batang-batang pohon inang itu agar bisa menanam bibit yang baru. Lalu mereka akan menunggu tangan-tangan malaikat menumbuhkannya, seraya merawatnya dengan peluh dan kesabaran. Bila saatnya tiba, mereka menjual hasil jerih payah mereka untuk mengawinkan anak gadisnya yang belum tamat SMA. Sisanya bisa buat beli beberapa motor baru, atau untuk pergi naik haji.

Ibung terus melaju di jalan aspal. Perlahan tapi pasti. Gerimis masih juga menitik membasahi bumi. Angin malam yang berhembus liar menyibakkan helai-helai rambut Ibung, menampar-nampar wajahnya.
Ibung terus melaju. Lurus, ke depan.

SEBILAH BELATI

“Kamu yakin dia bakal lewat sini?”
“Tiap malam dia selalu lewat sini, Bang.”

Kedua lelaki bertubuh kekar itu merapatkan jaket tebalnya. Yang seorang meraba gagang sebilah belati yang terselip di balik jaketnya. Kawannya duduk di atas sadel sepeda motor yang diparkir di balik rerimbunan pohon di tepi jalan.

Di ujung sana tampak kolong bekas tambang timah yang dibiarkan tak terurus. Cekungan raksasa itu dipenuhi air yang permukaannya tampak tenang. Sesekali, angin malam yang berhembus membuat permukaan yang tenang itu sedikit beriak.

Dari ujung jalan terdengar deru suara mesin sepeda motor. Perlahan-lahan, mendekat sesosok bayangan di atas jalan sepi. Tampak sebuah sepeda motor melaju. Seorang pengendara berada di atasnya, helai-helai rambutnya yang terbuka berkibaran disibak angin malam. Bulan tersembul di balik awan.

Kedua lelaki bertubuh kekar bergegas menaiki sepeda motornya. Nafas mereka meruapkan aroma kematian. Di kejauhan, lolongan anjing liar melengking merobek malam. Pilu, menyayat hati.

It begin ketika guru gue ngasih 4cerpen yang harus gue bacain buat ULUM praktek. Bosen liat cerpen lain yang teenage story, dasar gue kolot gue coba baca potongan cerpen ini dan gue tertarik. The reason? pertama sih dari kata 'wartawan' sama 'idealisnya'. Tapi gue rasa, ini cerpen ko pendek bgt? so gue browsing, dan versi lengkapnya?!! Oh my god, I'm fall in like to this story fastly wehe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syair: Rindu Dendam

Ferywell Party.......................

Ary